Kamis, 06 Januari 2011

Perang Lebanon 2006

Konflik Israel-Lebanon 2006 adalah serangkaian tindakan militer dan bentrokan terus-menerus di Israel utara dan Lebanon yang melibatkan sayap bersenjata Hizbullah dan Angkatan Pertahanan Israel (Israeli Defence Force atau IDF).
Konflik ini berawal pada tanggal 12 Juli 2006, ketika Hizbullah menyerang kota Shlomi di Israel utara dengan rudal Katyusha, kemudian pasukan Hizbullah menyusup ke wilayah Israel. Dalam serangan tersebut, tiga pasukan Israel dibunuh, dua luka-luka, dan dua diculik[1]. Peristiwa ini kemudian berlanjut dengan serangan Hizbullah ke wilayah Israel yang menghasilkan delapan orang tentara Israel tewas dan melukai lebih dari 20 orang[2]. Israel kemudian membalas dengan Operasi Just Reward ("Balasan yang Adil"), yang lalu namanya diubah menjadi Operasi Change of Direction ("Perubahan Arah"). Serangan balasan ini meliputi tembakan roket yang ditujukan ke arah Libanon dan pengeboman oleh Angkatan Udara Israel (IAF), blokade Udara dan Laut serta beberapa serangan kecil ke dalam wilayah Lebanon selatan oleh tentara darat IDF.[rujukan?]
Seorang warganegara Indonesia yang bekerja sebagai TKI, Siti Maemunah binti Muhtar Bisri, dilaporkan tewas di Lebanon akibat rudal yang diluncurkan Israel pada 11 Juli. [3]

Misi Pembebasan Anggota

Pada 28 Juni 2006, tiga kelompok milisi mengklaim telah menculik Kopral Gilad Shalit berusia 19 tahun untuk mendesak pemerintah Israel melepaskan seribu orang tahanan. Ketiga kelompok perlawanan itu meminta Israel segera menghentikan agresi militernya di wilayah Palestina. Israel yang sejak awal menolak berkompromi melancarkan serangan ke sejumlah kamp milik Fatah dan Hamas. Termasuk beberapa lokasi yang ditengarai pontensial untuk melarikan sang kopral dari tempat penyekapannya di selatan Gaza. Militer menembus masuk satu jam setelah Kabinet Israel memerintahkan angkatan perangnya memperluas wilayah operasi hingga ke Tepi Barat dan Jalur Gaza untuk menghentikan serangan Hamas dan menyelamatkan sang kopral.
Dalam tujuh malam berturut-turut sejak penculikan tentaranya, Jalur Gaza digempur serangan udara. Israel bersumpah akan meningkatkan aksi militer untuk membebaskan anggotanya. Israel mengancam akan menghabisi para pemimpin Hamasa yang berbasis di Damaskus. Desakan terhadap Suriah untuk bertanggung jawab atas perlindungan militan dilontarkan pada 5 Juli 2006. Dengan sejumlah bala tentara yang masih beroperasi di Jalur Gaza, Israel melebarkan ancamannya terhadap Suriah.
Krisis Timur Tengah semakin memanas setelah sejumlah kelompok militan, termasuk sayap militer Hamas memberi tenggat Selasa (4 Juli 2006) pukul 6 pagi agar Israel membebaskan 1500 orang tahanan Palestina dalam waktu kurang dari 24 jam. Dalam sebuah pernyataan di situs internet, Senin (3 Juli 2006), pejuang Palestina berujar, "Kami memberi waktu kepada para Zionis hingga pukul 06.00 besok pagi, Selasa (4 Juli). Jika musuh tidak merespons tuntutan kemanusiaan sebagai syarat pembebasan tentara seperti yang kami sebutkan dalam selebaran sebelumnya..., kami akan mempertimbangkan untuk mengakhiri kasus itu. Selanjutnya, musuh harus menanggung seluruh akibatnya."
Pejuang Palestina tidak menyinggung akibat apa saja yang harus dipikul Israel jika tidak membebaskan tahanan Palestina. Namun, sejumlah pihak berspekulasi bahwa Shalit akan dieksekusi. Sampai batas waktu yang telah ditentukan, pihak Israel tidak memenuhi tuntutan pembebasan tahanan Palestina tersebut. Di pihak lain, Palestina juga tidak memberikan informasi sedikitpun mengenai kondisi tahanannya apakah sudah meninggal atau masih hidup. "Israel tidak akan mengalah kepada musuh," kata anggota kabinet Israel Roni Bar-On kepada Radio Israel.
Pertempuran sengit terjadi antara Hezbollah dan pasukan Israel di perbatasan Israel-Lebanon sejak 12 Juli 2006 pagi. Pertempuran tersebut pecah setelah kelompok Hezbollah mengklaim menahan dua orang tentara Israel dekat perbatasan Lebanon-Israel. Penangkapan itu diumumkan Hezbollah melalui Al-Manar. Hilangnya dua tentara diakui Kementrian Pertahanan Israel. Pada tahun 2000, Hezbollah juga pernah menahan tiga tentara Israel dan tewas selama operasi. Mayat ketiganya kemudian ditukar dengan sejumlah tahanan Lebanon.
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan mengirim utusan khusus ke Suriah untuk menemui Presiden Suriah Bashar Assad dan menyampaikan keinginan Turki untuk ikut menjadi mediator penyelesaian krisis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar